memanfaatkan ruang modular



Ada hal menarik dari sebuah pasar di kawasan Gendeng Yogyakarta, pagar-pagar kawat dengan kolom-kolom beton berukuran 25x25 cm dengan jarak 4 meter yang berfungsi sebagai pembatas area rel kereta api dengan lingkungan sekitarnya, dimanfaatkan dengan sangat baik oleh warga sekitar. Pagar-pagar pembatas tersebut dimanfaatkan sebagai ruang modular yang sekaligus membagi ruang-ruang bagi pedagang satu dengan pedagang lainnya. Tidak hanya berperan sebagai pembentuk ruang, kolom-kolom tersebut juga dimanfaatkan dalam membentuk temporary architecture, dengan menciptakan shelter bagi tempat berjualan yang dapat 'dilipat' dengan cepat, ketika waktu berjualan telah habis.



Sejatinya, ruang yang berfungsi sebagai pasar tradisional tersebut adalah ruang linear yang berfungsi sebagai jalan. Namun kebutuhan akan adanya ruang dalam transaksi kebutuhan sehari-hari warga sekitar, membawa pada 'kesepakatan' untuk mengalihkan fungsi ruang secara temporer. Pada pagi sampai pukul 10.00 wib, ruang tersebut berfungsi sebagai pasar tradisional, selanjutnya kembali sebagai jalur sirkulasi.


Perubahan fungsi tersebut membawa kepada bentuk pasar yang temporer, dengan memanfaatkan ruang modular, maka para pedagang membuat pasar mereka dapat beralih menjadi jalur sirkulasi kembali dalam waktu singkat, dan ketika pagi tiba, dengan waktu singkat, kembali menjadi sebuah pasar.


Detail yang digunakan pun sangat sederhana tetapi benar dan efisien. Pondasi yang digunakan memanfaatkan kaleng atau ember bekas yang berfungsi layaknya pondasi umpak. Material bambu dan kayu dimanfaatkan untuk membuat shelter yang sederhana namun efektif.
Kegiatan secara keseluruhan pada pasar ini tidak membawa kesan bahwa ini adalah pasar temporer, namun terlihat sebagai sebuah pasar tradisional yang permanen. (monang)

cubic house: alternatif di pusat kota


Judul yang sama menjadi artikel saya yang dimuat di Kompas Minggu 5 april 2009 pada rubrik Urban-Desain. Tulisan ini mengangkat suatu kawasan hunian yang berada di pusat kota Rotterdam, bernama Cubic House karya Piet Blom.

Kawasan hunian ini menjadi menarik karena keberadaannya yang melintang di atas jalan raya, serta bentuknya yang unik (kubus) ditambah warna yang dominan, menjadikannya bukan hanya memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi juga menjadi landmark kota Rotterdam.

Lebih lengkap mengenai artikel ini dapat dilihat di koran Kompas edisi cetak hal. 22, atau di http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/05/03041466/cubic.house.alternatif..di.pusat.kota , selamat membaca. (monang)

bali: identitas "kegunaan" dan "keberadaan"

Berada di Bali selalu membuat saya besemangat, atmosfer yang berbeda dari pulau indah inilah yang menghantar pada kondisi tersebut. Budaya yang kental dan senantiasa dijaga dari masa ke masa, tidak hanya tervisualisasi pada berbagai upacara keagamaan yang kerap tersaji, namun pola hidup, dan ketaatan pada tradisi senantiasa terjaga.


Hal ini membuat pulau ini menjadi sesuatu yang berbeda, bahkan meski globalisasi kerap melingkupinya. Arsitektur pun seolah sadar akan adanya identitas yang kental ini. Berbeda dengan daerah lain yang berlomba memasukkan unsur antah berantah dalam penataan kota dan lingkungan visualnya, untuk mencapai satu kata; ‘modern’, atau kata lainnya; ‘internasional’. Arsitektur di Bali tetap dapat dikatakan ‘Bali’. Kesadaran akan budaya, adat-istiadat dan lingkungan tropis membawa arsitektur menjadi bagian tak terpisahkan dari atmosfer yang terbentuk.

Sesuatu yang perlu ditekankan adalah, ke-Bali-an yang terpancar dari berbagai karya arsitektur, bukan sesuatu yang latah, atau sebuah ‘pakaian’ yang dikenakan hanya untuk dikatakan kontekstual, namun sesuatu yang memang berangkat dari kebutuhan mendasar, yaitu: identitas. Bangunan-bangunan tersebut, walaupun hadir dengan gaya yang sama, Bali, namun tetap dapat dibaca fungsinya secara visual. Apakah bangunan pemerintahan, pendidikan, hotel, maupun tempat ibadah, tetap dapat dibedakan, karena identitas ke-guna-annya pun tetap dipertahankan, sebagaimana identitas keberadaannya.


Gambar gereja di samping ini hanyalah salah satu contoh kecil, bagaimana fungsi bangunan tetap dapat berjalan dengan baik, serta tetap mampu melayani aktivitas yang dipercayakan padanya, meski secara visual memancarkan atmosfer lokal, Bali.

Dari sini jelas, bahwa identitas ‘kegunaan’ tetap dapat berjalan beriringan dengan identitas ‘keberadaan’ dan dapat bersinergi membentuk jati diri yang justru semakin kuat. Tanpa berusaha menisbikan salah satu di antaranya, dengan memasukkan unsur yang bukan darinya, arsitektur lokal akan mampu membentuk atmosfer yang kuat dan menjadikan globalisasi hanya sebagai penonton dan bukannya pemain. (monang)

houses for Swallow

Fenomena menarik terjadi di kota Ketapang, Kalimantan Barat, di mana banyak bangunan yang beralih fungsi dari rumah tinggal, ruko dan fungsi lainnya menuju satu fungsi, Rumah Walet. Beberapa bangunan baru berlantai 3-4 bahkan sengaja dibangun untuk mendapatkan air liur sang burung yang konon mencapai harga 10-16 juta rupiah per kilogramnya.



Satu kawasan secara serentak beralih fungsi menjadi kawasan walet, setiap sore hari burung-burung mahal tersebut kembali ke 'rumah' mereka, sedangkan beberapa rumah lainnya terus berupaya merayu walet-walet tersebut untuk menetap dengan memutar suara walet melalui perangkat audio. Suara yang khas itu pun memenuhi kawasan tersebut, dan menciptakan suasana yang unik dan menarik.


Di bagian lain, beberapa bangunan baru dibangun untuk menarik walet-walet yang belum memiliki 'tempat tinggal', desain bangunan dan sistem struktur serta finishing yang digunakan bukanlan sesuatu yang dibuat asal, melainkan hadir layaknya produk properti lainnya yang dibangun oleh para pengembang. Apabila mengacu pada apa yang dapat dihasilkan oleh burung ini, wajarlah jika mereka mendapatkan perlakuan istimewa, namun apa yang terjadi dengan ruang kota dan arsitektur di dalamnya? (monang)

Palangkaraya: Kota dengan Dua Wajah

Palangkaraya, kota yang seakan memiliki dua wajah ini memiliki nilai emosional tersendiri bagi saya. Memiliki dua wajah, karena di satu sisi tumbuh dan berkembang sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, sedangkan di sisi lain seakan memiliki keinginan kuat untuk tetap bertahan dalam tradisi.

Wajah ke dua justru memiliki nilai yang sangat bermakna bagi saya, karena terbentuk secara jujur, dan mempertahankan budaya serta karakter geografis yang dimilikinya. Berbeda dengan wajah pertama, yang mulai kehilangan jati diri karena telah diisi oleh arsitektur yang entah datang dari mana (terutama pada rumah tinggal dan perumahan), wajah ke dua dibentuk oleh permukiman tepian sungai yang terdiri atas beberapa rumah terapung maupun rumah-rumah panggung.

Sebagaimana keberadaannya, permukiman tepian sungai Kahayan dibentuk oleh suatu kebutuhan yang jujur terhadap fungsi, bentuk, maupun layout bangunan. Bangunan-bangunan yang berada persis ditepian sungai atau di badan sungai dirancang dengan konsep terapung dengan menggunakan kayu gelondongan atau pun drum-drum bekas sebagai dasar keterapungannya. Hal ini sangat wajar mengingat tinggi permukaan air sungai yang tak menentu, terutama pada saat peralihan musim.

Semakin mengarah ke darat, rumah-rumah terapung bermetamorfosis menjadi rumah panggung dengan ketinggian mencapai 2-4 meter, ketinggian yang juga dipengaruhi oleh jarak yang dimilikinya terhadap badan sungai. Secara messo, tata letak bangunan terpola dalam grid-grid yang dibentuk oleh regulating line atas bangunan-bangunan yang berada di darat (cenderung teratur) serta sisi sungai yang bersifat dinamis.

Rumah-rumah panggung yang memiliki ketinggian mencapai 2-4 meter diakomodasi dengan jalur transportasi berupa titian berbahan kayu yang dapat dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Jalur ini pulalah yang menjadi ruang publik dan menghubungkan ruang-ruang privat maupun ruag publik lainnya.

Dalam konteks kota, permukiman tepian sungai Kahayan seharusnya berperan sebagai edge bila mengacu pada teori Kevin Lynch. Namun pada kenyataannya, permukiman tepian sungai ini justru membentuk ruang, karena di sis yang lain juga berkembang permukiman dengan pola dan konsep yang sama. Orientasi permukiman di ke dua sisi sungai ini saling berhadapan dan memunggungi kota, sehingga membentuk sebuah ruang yang sangat kuat, terlebih aktivitas yang terjadi di sungai memiliki intensitas yang sangat tinggi, baik sebagai jalur transportasi maupun transaksi.



Desain bangunan tepian sungai Kahayan sangat wajar dan jujur, tak ada keinginan untuk tampil dominan, baik dari segi bentuk, material, dimensi maupun orientasi. Kesemuanya seolah sejalan dengan kondisi iklim, geografis dan budaya, demikian pula halnya dengan pola hidup, serta ketergantungan (atau mungkin penghargaan) terhadap keberadaan dan peran penting sebuah sungai. (monang)

Silodam: Hunian Vertikal di Atas Air


Judul di atas merupakan paparan saya yang termuat pada Tabloid Rumah Edisi 149/VI 25 November-08 Desember 2008 (foto sampul: Tabloid Rumah). Silodam merupakan sebuah hunian vertikal atau apartemen yang berada di permukaan sungai, di kota Rotterdam, hadir dari meja gambar sebuah biro arsitektur terkenal Belanda, MVRDV.


Kehadirannya, dengan penyelesaian berbagai masalah desain, seolah dapat menjawab kebutuhan pendekatan yang sama bagi hunian vertikal di Indonesia baik bagi apartemen, maupun Rusunawa (rumah susun sewa) dan Rusunami (rumah susun milik). Pada artikel tersebut, secara lebih panjang lebar, telah saya jabarkan mengenai tinjauan desain arsitektural, kebutuhan ruang apartemen, serta tinjauan sistem struktur dan konstruksi, selamat membaca. (monang)

The Peak: Sajian Visual hong Kong



The Peak atau juga disebut sebagai Victoria Peak, merupakan sebuah bangunan yang berbentuk lengkung pada bagian vertikalnya dengan dilapisi bahan metal pada seluruh bidang permukaannya, memberikan kesan sebuah bangunan yang sangat futuristik. Pencapaian lokasi ini dilakukan dengan menggunakan funicular dengan kemiringan lebih dari empat puluh lima derajat.

Namun, bagi saya yang membuat bangunan ini menjadi istimewa adalah ruang yang disediakannya, sebuah ruang dengan perbedaan elevasi yang sangat tinggi dengan Central, Hong Kong. Dari puncak bangunan, sajian visual seolah merangkul seluruh bangunan yang ada di Hong Kong. Berbagai bangunan tertinggi di dunia, termasuk Bank of China karya I.M.Pei pun tersaji secara visual.

Dari ruang ini pula, kita dapat menyaksikan relasi antara lingkungan alam dengan lingkungan binaan yang sangat kontras, namun tetap dapat berdampingan dengan baik. Dalam kondisi langit yang cerah, informasi visual pun akan semakin luas menjangkau, Victoria Harbor, Tsim Sha Tsui, Kowloon, sampai pada hijaunya kawasan New Territories. (monang)